Struktur Masyarakat Jawa Kuno
Dengan demikian masyarakat jawa kuno terbagi atas 3 golongan
utama, yaitu golongan penguasa, golongan agama dan golongan rakyat biasa.
Seperti halnya dengan pembagian masyarakat kedalam
golongan-golongan maka De Casparis pun berpendapat bahwa adanya pembagian karsa
yang dikenal di Indonesia ini peraturannya tidak sekeras yang terdapat di India
(de Casparis). Ia membagi masyarakat Jawa Kuno kedalam 3 golongan:
1.
Golongan pertama, yang terbesar jumlahnya,
adalah penduduk desa seluruhnya.
2.
Golongan kedua adalah sang prabu dengan segenap
kaum keluarganya dan mereka yang langsung kepada sang prabu, dengan mudah dapat
kita sebut golongan keraton.
3.
Golongan ketiga golongan agama, antara lain
pedanda-pedanda di candi-candi, orang yang tinggal di wihara-wihara dan
pegawai-pegawai rendahannya.
Dari pendapat kedua sarjana ini, saya cenderung mengikuti
pendapat bahwa memang dijawa ada pembagian kasta walaupun pembagian kasta ini
berbeda dengan di India. Masyarakat yang menganut agama Hindu pasti mengenal
kasta, demikian juga masyarakat kerajaan Mataram, seperti yang tertulis dalam
prasasti-prasasti dan juga kitab-kitab hukum. Sebagai contoh di dalam prasasti
terdpat perbedaan dalam sebutan pu, dyah,
bhagawanta, dapunta, san, dan si. Misalnya pu dan dyah dipakai untuk
pejabat kerajaan yang berpredikat rakai, sedang dapunta dan bhagawanta
biasa dipakai oleh orang yang tergolong agama, sebutan san dan si dipakai untuk
rakyat biasa.
Sebutan-sebutan diatas tadi kita dapati dalam
prasasti-prasasti, misalnya sebutan pu
kita temukan dalam prasasti Manulihi. Sebutan baghawanta dalam prasasti Harinjing , sebutan daputan dalam prasati
Kaladi. Untuk sebutan san misalnya
dalam prasati pangumulan. Untuk sebuatan si
ada di dalam prasasti Harinjing, prasasti Tulang Air dan masih banyak lagi.
Uraian di atas hanya merupakan contoh bahwa memang ada
sebutan-sebutan untuk menunjukkan adanya macam-macam golongan dan masih banyak
lagi prasasti yang menyebutkan sebutan-sebutan tadi, tetapi cukup hanya disebut
beberapa prasati saja sebagai contohnya.
Uraian tersebut hanya menunjukkan memang ada perbedaan dalam
sebutan yang menunjukkan adanya pembagian masyarakat kedalam kasta-kasta
walaupun tidak diterapkan secara nyata. Kasta pada masa itu agaknya hanya
dianggap sebagai suatu kerangka pembagian masyarakat menurut ajaran agama
Hindu. Tetapi dalam kenyataannya masyarakat berjalan berdasarkan tata sosial
dan budaya Indonesia yang telah ada sejak sebelum kedatangan pengaruh agama
Hindu.
Di dalam sumber-sumber prasasti dapat diketahui di samping
golongan elite yang terdiri dari orang-orang kasta btahmana dan ksatrya yang
memegang pemerintahan, terdapat rakyat biasa yang jauh lebih besar jumlahnya
yang kebanyakan hidup di desa-desa, terutama yang jauh dari pusat-pusat pemerintahan,
tetapi juga ada desa yang dekat dengan pusat kerajaan. Mereka hidup sebagai
petani, perajin, pedagang, kaum budak, dan buruh kasar. Golongan pertama
mempelajari basa sanskerta, agama Hindu atau Budha Mahayana, dan berbagai
institusi dari India, sedangkan rakyat ternyata sedikit sekali terkena pengaruh
kebudaan India. Hal ini antara lain dapat dilihat dari banyaknya nama-nama
rakyat dan penduduk desa yang memakai kata-kata Indonesia asli, sedangkan
golongan elite kebanyakan menggunakan nama-nama asli dalam bahasa sanskerta.
Ilustrasi pada Kebuayaan Lain
Mengenai stratifikasi sosial ternyata setiap kebudayaan
memang menampilkannya antara lain lewat pakaian. Ada kemungkinan yang satu
mempengaruhi kebudayaan yang mempengaruhi kebudayaan yang lain sehingga dalam
hubungan stratifikasi sosial ini sebaiknya diambil contoh suatu kebudayaan yang
cukup tua dan mapan. Dengan melihat pada kebuadayaan yang relatif murni ini
perbedaan golongan sosial yang ditampilkan lewat pakaian merupakan ciri
universal.
Kita ambil contoh pakaian pria dari zaman Gupta yang dapat
diklasifikasi menurut jabatan dan status sosial, situasi dan status sosial
pemakainya, ialah:
a.
Pakaian raja
Raja-raja Gupta memakai dhoti dan turban
ditempat yang tidak dilihat umum; di muka umum raja-raja ini memakai
berbagai-macam perhiasan sesuai dengan acaranya.
b.
Pakaian orang-orang kaya
Pangeran-pangeran dan orang-orang kaya pada
zaman Gupta memakai dhoti dengan ikat pinggang dan turban.
c.
Pakaian orang-orang biasa
Pakaian orang biasa terdiri dari dhoti,
ikat pinggang dupatta atau vaikakshya
dan vaikakshya dan chadar. Tetapi semua ini tidak dipakai
sekaligus. Seorang laki-laki cukup memakai dhoti
dan chadar untuk menutup bagian atas
tubuhnya atau memakai dupatta atau
hanya memakai ikat pinggang saja. Dapat di lihat bahwa dhoti adalah pakaian utamanya.
d.
Pakaian tentara
Terdiri dari dhoti dengan lipatan-lipatan
yang dijahit di belakang sehingga tidak mengganggu gerak-geriknya. Mereka memakai
jas tangan panjang dan turban di kepala mereka. Sebagai pengganti mantel
dipakai sejenis blus pendek hanya memakai ikat pinggang dan ikat kepala.
e.
Pakaian pemburu
Para pemburu hanya memakai dhoti pendek. Rambut mereka diikat
dengan pengikat kepala, atau dipakai celana pendek dengan ikat pinggang dan
kaki memakai chappal. Pemburu-pemburu yang lebih berada mengenakan sejenis
mantel sebatas pinggang, celana panjang sepatu lars.
f.
Pakaian pemain musik
Memakai blus pendek dan dhoti yang dilipat dibelakang dan jatuh sampai ke batas lutut. Mereka
memakai topi tinggi, tapi runcing atau sejenis peci atau topi keledai dan topi
berkerut (jenis topi ini biasa dipakai oleh seorang penari).
Sesuai dengan urutan contoh-contoh di atas, dapat dilihat
bahwa pada umumnya pakaian itu memang disesuaikan menurut situasi (berburu,
berperang), lingkungan (alam terbuka, hutan), dan stratifikasi sosial.
Mengenai stratifikasi sosial ini memang nyata
peraturan-peraturannya. Dan untuk menjaga ciri-ciri kebesaran dan untuk
mencegah ditiru masyarakat rendah sejak dahulu golongan atas selalu berusaha
untuk membedakan cara berpakaiannya, yang sebetulnya sulit untuk dipertahankan.
Di lain pihak kalangan masyarakat luas akan selalu berusaha meniru cara
berpakaian golongan atas ini.
Dari catatan-catatan tentang kebudayaan Aztec yang di buat
para misinaris, sebelum kedatangan bangsa spanyol di Meksiko terdapat
undangan-undangan berpakaian yang dasarnya menentukan hal-hal sebagai berikut.
1.
Rakyat jelata hanya boleh memakai pakaian dari
bahan sederhana
2.
Hanya kalangan atas yang boleh memakai pakaian
dari bahan yang eksklusif
3.
Hiasan tertentu yang diizinkan untuk pakaian
atas
4.
Pakaian disesuaikan dengan status suami atau
ayah kecuali untuk pendeta wanita.
Pakaian khusus yang menunjuk pangkat adalah suatu mantel
pakaian perang (Tilmatli) yang menjadi lambang status paling nyata dan paling
diinginkan. Corak mantel ini harus memiliki syarat-syarat yang ketat sesuai
dengan pangkat atau jasa seseorang di medan perang.
Di samping mantel dan baju perang terdapat rompi khusus
untuk baju upacara. Ternyata ada 6 kelompok sosial yang boleh memakai baju tersebut:
a.
Dewa-dewa dan yang mewakili mereka
b.
Pendeta-pendeta
c.
Bangsawan-bangsawan
d.
Tawanan-tawanan perang yang akan dikorbankan
e.
Pedagang-pedagang dengan budak belian yang akan
dikorbankan
f.
Pejabat pemerintahan (administrator)
Rompi xicolli ini
merupakan jaket berumbai-rimbai. Menurut catatan terutama dipakai oleh pendeta
yang sekaligus membakar kemenyan di tangannya dengan tempat pembakaran kemenyan
pada tangan yang lain.